Fiqih dan Ushul Fiqih

 TUGAS BERSTRUKTUR                                                           DOSEN PENGASUH
   Fiqh dan Ushul Fiqh                                                                                        Hasbullah, S.Ag.,M.HI.


AL-QURAN


Disusun Oleh  :


KELOMPOK I


MUHAMMAD RIZA PRATAMA (0906231064)
YUSUF RIADI LAJUARDI (0906231081)





INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN D3 IPII
BANJARMASIN
2011



KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Shalawat dan salam tidak lupa kita sampaikan kepada junjungan kita nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman.

Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan ketidak sempurnaan, baik dari segi penulisan dan penyampaian maupun isi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi sempurnanya makalah ini.

Dan penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat dan membantu dalam pembuatan makalah ini, yang manfaatnya sangat dapat dirasakan penulis.

Akhirnya, penulisan mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang bersangkutan atau kepentingan. Amien.





Banjarmasin,  Maret 2011



                                                                                          Penulis


DAFTAR ISI




KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….        i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….        ii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………….        1

A.    Latar Belakang……………………………………………………………..        1

B.     Perumusan masalah………………………………………………………..         1

C.     Tujuan……………………………………………………………………..         1

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………..        2

A.    Pengertian Al – Qur’an……...………………………………………………….       2

B.     Petunjuk (Dilalah) Al – Qur’an…………………………………………………       4

C.     Kehujjahan Al-Quran menurut pandangan ulama imam madzhab……………..       6

D.    Sikap Ulama Ketika Zhahir Ayat Berhadapan Dengan Sunnah………………         8

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………..         10

            Kesimpulan……………………………………………………………………         10

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...         11


BAB I
PENDAHULUAN

            Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver) adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
            Karena kedudukan Al-Quran itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawab penyelesaiannya dari Al-Quran. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan Al-Quran, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar Al-Quran,
            Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Quran sebagai sumber utama atau pokok hukum Islam, berarti Al-Quran itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Quran, maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Quran. Hal ini bahwa berarti sumber-sumber hukum selain Al-Quran tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-Quran.
            Kekuatan hujjah Al-Quran sebagai sumber dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat Al-Quran yang menyuruh umat manusia mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam Al-Quran. Perintah mematuhi Allah itu berarti perintah mengikuti apa-apa yang difirmankan-Nya dalam Al-Quran.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-Quran
1.      Pengertian Secara Etimologi (Bahasa)
      Para ulama telah berbeda pendapat di dalam menjelaskan kata Al-Quran dari sisi: derivasi (isytiqaq), cara melafalkan (apakah memakai hamzah atau tidak), dan apakah ia merupakan kata sifat atau kata kejadian. Para ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkkannya menggunakan hamzah pun telah terpecah menjadi dua pendapat:
a.       Sebagian dari mereka, diantaranya Al-Lihyani, berkata bahwa kata “Al-Quran” merupakan kata kejadian dari kata dasar “qara’a” (membaca) sebagaimana kata rujhan dan ghufran. Kata kejadian ini kemudian dijadikan sebagai nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada nabi kita, Muhammad SAW. Penamaan ini masuk ke dalam kategori “tasmiyah al-maf’ul bi al-mashdar” (penamaan isim maf’ul dengan isim mashdar). Mereka merujuk firman Allah pada surat Al-Qiyamah [75] ayat 17-18:
 
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.
b.      Sebagian dari mereka, diantaranya Al-Zujaj, menjelaskan bahwa kata “Al-Quran” merupakan kata sifat yang berasal dari kata dasar “al-qar” yang artinya menghimpun. Kata sifat ini kemudian dijadikan nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena kitab itu menghimpun surat, ayat, kisah, perintah, dan larangan. Atau karena kitab ini menghimpun intisari kitab-kitab suci sebelumnya.
      Para ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkan kata “Al-Quran” dengan tidak menggunakan hamzah pun terpecah menjadi dua kelompok:
a.       Sebagian dari mereka, diantaranya adalah Al-Asy’ari, mengatakan bahwa kata Al-Quran diambil dari kata kerja “qarana” (menyertakan) karena Al-Quran menyertakan surat, ayat, huruf-huruf.
b.      Al-Farra’ menjelaskan bahwa kata “Al-Quran” diambil dari kata dasar “qara’in” (penguat) karena Al-Quran terdiri dari ayat-ayat yang saling menguatkan dan terdapat kemiripan antara satu ayat dan ayat-ayat lainnya.

      Pendapat lain bahwa Al-Quran sudah merupakan sebuah nama personal (al-‘alam asy-syakhsyi), bukan merupakan derivasi, bagi kitab yang telah diturunkan kepada Muhammad SAW. Para ulama telah menjelaskan bahwa penamaan itu menunjukkan bahwa Al-Quran telah menghimpun intisari kitab-kitab Allah yang lain, bahkan seluruh ilmu yang ada. Hal itu sebagaimana telah diisyaratkan oleh firman Allah pada surat An-Nahl [16]:89 dan surat Al-An’am [6]:38:
An-Nahl [16]:89:
Artinya: (Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Al-An’am [6]:38:
Artinya: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
2.      Pengertian Secara Terminologi (Istilah)
a.       Menurut Manna’ Al-Qaththan: “Kitab Allah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan membacanya memperoleh pahala.”
b.      Menurut Al-Jurjani: “Yang diturunkan kepada Rasulullah  SAW., yang ditulis didalam mushaf dan yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan.”
c.       Menurut Abu Syahbah: “Kitab Allah yang diturunkan baik lafazh maupun maknanya kepada Nabi terakhir, Muhammad SAW., yang diriwayatkan secara mutawatir , yakni dengan penuh kepastian dan keyakinan (akan kesesuaiannya dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad), yang ditulis kepada mushaf mulai dari awal surat A-Fatihah [1] sampai akhir surat An-Nas [114].”
d.      Menurut Kalangan Pakar Ushul Fiqih, Fiqih, dan Bahasa Arab: “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad, yang lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat A-Fatihah [1] sampai akhir surat An-Nas [114].”[1]
B.     Petunjuk (Dilalah) Al-Quran
            Al-Quran yang diturunkan secara mutawatir, dari segi dari segi turunnya berkualitas qath’i (pasti benar). Akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung Al-Quran adakalanya bersifat qath’i dan adakalanya bersifat zhanni (relatif benar).
1.      Nash yang qath’i dilalahnya
      Ayat yang bersifat qath’i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Ayat-ayat seperti ini misalnya, ayat-ayat waris, hudud, dan kaffarat. Contohnya, firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 11:
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Contoh lain adalah surat An-Nur ayat 2:
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Dalam kaffarah sumpah Allah berfirman:
Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).
      Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di atas, bagian waris, seratus kali dera bagi orang yang melakukan zina, dan puasa tiga hari untuk kaffarat sumpah, menurut para ulama ushul fiqh mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa di pahami dengan pengertian lain.
2.      Nash yang Zhanni dilalahnya
      Adapun ayat-ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam Al-Quran mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk di takwilkan. Misalnya, lafal musytarak (mengandung pengertian ganda) yaitu kata quru’ yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 228. Kata quru’ merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh sebab itu, apabila kat quru’ diartikan dengan suci, sebagaimana yang dianut ulama Syafi’iyah adalah boleh (benar), dan jika diartikan dengan haid juga boleh (benar) sebagaimana yang dianut ulama Hanafiyah.
Contoh lain adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 38:
 Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
      Kata “tangan” dalam ayat ini mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kanan atau tangan kiri, disamping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja atau sampai siku.
      Penjelasan untuk yang dimaksud dengan tangan ini ditentukan dalam hadits Rasulullah SAW. Kekuatan hukum kata-kata yang seperti quru’ dalam ayat pertama dan tangan pada ayat kedua, menurut para ulama ushul fiqh bersifat zhanni (relatif benar). Oleh sebab itu, para mujtahid boleh memilih pengertian yang terkuat menurut pandangannya serta yang didukung oleh dalil lain.[2]
C.    Kehujjahan Al-Quran menurut pandangan ulama imam madzhab
            Para ulama ushul fiqh dan lainnya sepakat menyatakan bahwa Al-Quran itu merupakan sumber utama hukum Islam yang diturunkan Allah dan wajib diamalkan, dan seorang mujtahid tidak dibenarkan menajadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat Al-Quran. Apabila hukum permasalahan yang ia cari tidak ditemukan dalam Al-Quran, maka barulah mujtahid tersebut mempergunakan dalil lain. Ada beberapa alasan yang dikemukakan ulama ushul fiqh tentang kewajiban berhujjah dengan Al-Quran, diantaranya adalah:
1.      Al-Quran itu diturunkan kepada Rasulullah SAW. Diketahui secara mutawatir, dan ini member keyakinan bahwa Al-Quran itu benar-benar datang dari Allah melalui malaikat jibril kepada Muhammad SAW. Yang dikenal sebagai orang paling dipercaya.
2.      Banyak ayat yang menyatakan bahwa Al-Quran itu datangnya dari Allah, diantaranya dalam surat Ali Imran, 3: 3:
Artinya: Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.
Surat Al-Nisa, 4: 105:
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
Surat Al-Nahl,, 16: 89:
Artinya: (Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
3.      Mu’jizat Al-Quran juga merupakan dalil yang pasti akan kebenaran, Al-Quran itu datangnya dari Allah SWT. Mu’jizat Al-Quran bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi SAW. Yang membawa risalah Ilahi dengan suatu perbuatan yang diluar kebiasaan umat manusia. Mu’jizat Al-Quran, menurut para ahli ushul fiqh dan tafsir terlihat ketika ada tantangan dari berbagai pihak untuk menandingi Al-Quran itu sendiri, sehingga para ahli sastra Arab dimana dan kapan pun tidak bisa menandinginya. Kemu’jizatan Al-Quran, menurut para ahli ushul fiqh, akan terrlihat dengan jelas apabila:
a.       Adanya tantangan dari pihak mana pun,
b.      Adanya unsur-unsur yang menyebabkan munculnya tantangan tersebut, seperti tantangan orang kafir yang tidak percaya akan kebenaran Al-Quran dan kerasulan Muhammad SAW, dan
c.       Tidak ada penghalang bagi munculnya tantangan tersebut.
      Unsur-unsur yang membuat Al-Quran itu menjadi mu’jizat yang tidak mampu ditandingi akan manusia, diantaranya adalah:
a.       Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya, umpamanya berupa keseimbangan jumlah bilangan kata dengan lawannya, diantaranya seperti: al-hayah (hidup) dan al-maut (mati), dalam bentuk definite sama-sama berjumlah 145 kali; al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) sama-sama terulang dalam Al-Quran sebanyak 17 kali.
b.      Dari segi pemberitaan-pemberitaan gaib yang dipaparkan Al-Quran, seperti dalam surat Yunus, 10:92 dikatakan bahwa “badan Fir’aun akan diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi generasi-generasi berikutnya,” yang ternyata pada tahun 1896 ditemukan mummi yang menurut arkeolog adalah Fir’aun yang mengejar-ngejar nabi Musa, dan
c.       Isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung Al-Quran, seperti dalam surat Yunus, 10: 5 dikatakan, “Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari).”[3]
D.    Sikap Ulama Ketika Zhahir Ayat Berhadapan Dengan Sunnah
Para ulama ushul fiqh juga membahas persoalan tentang boleh tidaknya Rasulullah menetapkan hokum baru yang sifatnya bukan mendukung atau menguatkan hokum yang ada dalam Al-Quran dan bukan pula menjelaskannya. Dengan kata lain apakah sunnah Rasulullah boleh menetapkan hukum baru yang tidak ada dalam Al-Quran? Dalam hal ini terdapat perbedaan para ulama.
Jumhur ulama mengatakan bahwa Rasulullah boleh membuat hukum tambahan yang tidak ada dalam Al-Quran. Dalam hubungan inilah, menurut jumhur ulama, umat Islam diperintahkan taat kepada Rasul dan ketaatan kepada Rasul itu sebanding dengan ketaatan kepada Allah. Contoh-contoh hukum baru yang dibuat Rasulullah adalah: tidak bolehnya mengawini seorang wanita sekaligus dengan bibi (saudara perempuan dari ayah atau ibu) (H.R. al-Bukhari dan Muslim); tidak boleh memakan daging himar kampung (keledai yang dijadikan tunggangan/pembawa beban) dan binatang buas (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan Abu Daud). Imam Syafi’i (150-204 H/767-820 M) mengatakan, “saya tidak mengetahui ada ulama yang berbeda pendapat tentang fungsi sunnah, termasuk membuat hukum tambahan yang tidak ada dalam Al-Quran”.
Sebagian ahli ushul fiqh mengatakan bahwa Rasulullah tidak boleh menetapkan hukum yang tidak ada dasarnya dalam Al-Quran. Menurut mereka, seluruh hukum yang ditetapkan Rasulullah ada dasarnya dalam Al-Quran, baik dasarnya itu melalui qiyas (analogi), melalui kaidah kemaslahatan, atau melalui kaidah-kaidah umum yang ada dalam al-Quran. Jika demikian halnya, maka hukum-hukum tambahan yang dibuat Rasulullah tidak terlepas sama sekali dengan kandungan al-Quran.
Dalam kaitan dengan ini, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Khallaf dan ‘Ali Hasaballah, ketiganya ahli ushul fiqh dari mesir, mengatakan bahwa pada dasarnya hukum-hukum tambahan yang dibuat Rasulullah melalui sunnahnya tidak terlepas sama sekali dari kandungan atau makna umum yang dikandung Al-Quran. Dalam masalah larangan mengawini seorang wanita sekaligus dengan (dimadu) tante atau bibinya, merupakan hukum yang diqiyaskan kepada larangan Allah tentang mengawini dua orang perempuan bersaudara sekaligus (Q.S. al-Nisa; 4:23). Oleh sebab itu menurut mereka, hukum-hukum tambahan yang dibuat Rasulullah itu tidak terlepas dari kaidah umum yang ditetapkan Al-Quran, baik itu dilakukan melalui pendekatan qiyas maupun melalui penerapan kaidah kemaslahatan.[4]


[1] Rosihon Anwar, Ulumul Al-Quran, hal. 31-34.
[2] Chaerul Umam, Ushul Fiqh I, hal. 52-55.
[3] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hal. 27-29.
[4] Kahar Masyhur, Jalan Pendek Untuk Mengenal Dasar Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h. 50.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Al-Quran ialah kalam Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW dan membacanya adalah ibadat.
            Al-Quran yang diturunkan secara mutawatir, dari segi dari segi turunnya berkualitas qath’i (pasti benar). Akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung Al-Quran adakalanya bersifat qath’i dan adakalanya bersifat zhanni (relatif benar).
            Para ulama ushul fiqh dan lainnya sepakat menyatakan bahwa Al-Quran itu merupakan sumber utama hukum Islam yang diturunkan Allah dan wajib diamalkan, dan seorang mujtahid tidak dibenarkan menajadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat Al-Quran. Apabila hukum permasalahan yang ia cari tidak ditemukan dalam Al-Quran, maka barulah mujtahid tersebut mempergunakan dalil lain.
            Sebagian ahli ushul fiqh mengatakan bahwa Rasulullah tidak boleh menetapkan hukum yang tidak ada dasarnya dalam Al-Quran. Menurut mereka, seluruh hukum yang ditetapkan Rasulullah ada dasarnya dalam Al-Quran, baik dasarnya itu melalui qiyas (analogi), melalui kaidah kemaslahatan, atau melalui kaidah-kaidah umum yang ada dalam al-Quran. Jika demikian halnya, maka hukum-hukum tambahan yang dibuat Rasulullah tidak terlepas sama sekali dengan kandungan al-Quran.



Belajar membuat makalah Terima kasih

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...